Jumat, 16 Desember 2011

Cerita Kate Winslet dan Elizabeth Wong

Ini adalah cerita Kate Winslet dan Elizabeth Wong. Yang satu adalah aktris top Hollywod pemenang Oscar, satunya lagi politisi Malaysia yang dihancurkan. Ironisnya, dua perlakuan kontradiktif yang diterima Winslet dan Wong itu berangkat dari situasi serupa; mereka sama-sama telanjang.

Winslet pulang dengan hati berbunga-bunga setelah positif membawa Piala Oscar sebagai oleh-oleh Minggu, 22 Februari lalu. Aktingnya sebagai Hanna Schmizt, seorang agen Nazi buta huruf dalam film The Reader besutan Stephen Daldry membuat kepiawaian Winslet dalam berakting tampak moncer dan mengundang decak kagum insan perfilman sejagat.


Perempuan yang juga pernah masuk nominasi sebagai aktris terbaik pada Little Children (2006), Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004), dan Titanic (1997) itu sukses menjalankan perannya dengan natural. Di The Reader Winslet tampil telanjang dan film itu ditonton banyak orang. Kate telanjang bulat di depan jutaan pasang mata.


Sebagai aktris, Winslet memang dituntut serba bisa di depan kamera. Termasuk ketika dia harus tampil tanpa busana. Dalam The Reader, sang sutradara mengeksploitasi tubuh indahnya. Di awal film dia hampir selalu berakting tanpa busana, sampai harus melakoni adegan bersetubuh dengan Ralph Fiennes dalam keadaan telanjang bulat. Semua mata memelototi organ genitalnya.

Adegan itu vulgar, tapi memang itulah bagian cerita yang harus dilakoni Winslet sebagai profesional. Dan totalitasnya sampai telanjang itu mampu menyematkan penghargaan tertinggi insan perfilman se-bumi. Ketika Oscar di genggamannya Minggu (22/2) lalu, Winslet harus berusaha membendung biar air mata keterharuannya itu tak sampai meleleh.

Masih cerita tentang tubuh wanita tanpa busana, tapi dalam wajah yang jauh berbeda. Di Negeri Jiran Malaysia, Elizabeth Wong memutuskan mundur dari jabatan sebagai Dewan Eksekutif Negara Bagian Selangor dan anggota Majelis Negara Bagian Bukit Lanjan karena telanjang. Kedigdayaannya sebagai politisi top kader tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, harus tumpas karena foto telanjangnya saat sedang tidur tersebar luas di internet dan ponsel.

Selasa (17/2) lalu perempuan 37 tahun itu harus menggelar jumpa pers perihal tubuh telanjangnya yang jadi konsumsi publik itu. Air matanya tak henti mengalir. Gambar itu, menurut Wong, diambil mantan pacarnya dan itu sudah sangat lama. Wong sendiri memutuskan untuk melajang dan sekarang sudah putus dengan pacar yang merekam ruang privatnya itu. Dia juga menduga gambar itu sengaja disebar untuk menghabisi karir politiknya yang sedang moncer. Terbukti cara itu ampuh.

***

Dalam situasi yang sama, di mana ketelanjangan jadi konsumsi publik, efeknya bisa sangat bertolak belakang. Tapi itulah fakta.

Menurut cara pikir beberapa filsuf genealogi, memahami tubuh itu tidak hanya berhenti pada soal perwujudan wadag. Tubuh itu penanda penting status sosial, posisi keluarga, umur, gender dan hal-hal yang sifatnya religius. Dari tubuh itulah seseorang dinilai.

Menurut Robert Hertz, antropolog Prancis berdarah Yahudi, pola pikir masyarakat tentang kosmologi, gender, dan moralitas itu terefleksikan dalam tubuh. Tubuh fisik adalah tubuh sosial (the physical body is also social) yang harus tunduk pada hukum-hukum sosial.

Sementara Marcel Mauss, sosiolog dari Prancis menambahkan, tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara berbeda sesuai kultur masing-masing tempat di mana tubuh-tubuh itu tumbuh secara sosial. Gampangnya, cara Asia dan Amerika dalam memaknai tubuh atau ketelanjangan itu beda.

Kebudayaann lah yang mengkonstruksikan bagaimana tubuh harus dipandang. Di tempat Kate Winslet hidup sana, di pusat kampung global bernama Amerika yang liberal, telanjang di depan umum itu no big deal. Itu adalah wujud kebebasan berekspresi. Namanya juga liberal, mau apa saja bebas.

Di dunia yang digelutinya, seni peran, ada juga hukum sendiri tentang cara memandang tubuh. Seni lahir untuk membangun dunianya sendiri, bebas lepas dari hukum positivis. Kalau positivis memandang tubuh sebagai objek yang harus dikuasai dan ditutup, lain lagi dengan kaca mata seni.

Tubuh adalah keindahan yang tak melulu harus dipahami sebagai simbol seksualitas. Tubuh juga bisa difahami sebagai keindahan. Telanjang adalah ekspresi kebebasan jiwa, sementara kebebasan adalah semangat liberalisme. Tubuh tak lagi dibatasi atau jadi objek kekuasan maupun politik. Hidup di Amerika mendukung profesi Winslet secara total.

Sayangnya Elizabeth Wong tak seberuntung Winslet. Anggota Partai Keadilan Rakyat (PKR) Malaysia itu hidup di tengah lingkungan normatif konservatif khas “timur”. Budaya tempat dia hidup menabukan ketelanjangan. Tubuh benar-benar dikuasai, diprivatisasi, dan dalam sebuah situasi bisa jadi tunggangan politis.

Elizabeth Wong adalah bagian dari masyarakat yang hidup dalam kungkungan norma susila yang konservatif. Malaysia, seperti juga Indonesia, melarang tubuh tanpa busana ditonton khalayak luas. Cara pandang seni ala Kate Winslet tak berlaku di sini. Yang ada itu, “pokoknya” tubuh harus ditutupi. Titik. Tak pakai koma.

Ketika norma dilanggar, harus ada hukuman bagi yang melanggarnya. Dalam kasus Elizabeth Wong, punishment paling telak adalah harus mundur dari dunia politik.

Di dunia politik yang digelutinya, Wong harus piawai membangun citra yang super bersih. Itu wajib, karena dengan tampil bersih itulah simpati terjaring dan secara politis dia membangun kekuatan.

Sudah jadi rahasia umum, syarat utama sebagai politikus itu adalah jangan berbuat kesalahan sekecil apa pun. Karena setitik noktah pada citra bisa mengusir simpati dari benak publik. Bagaimana pun caranya yang penting citra terpoles indah.

Untuk membangun citra sempurna sebagai seorang politikus, ya harus tunduk pada koridor budaya tempat di mana dia hidup. Biar kelihatan sopan. Kalau sudah terlihat sopan, simpati orang akan tumbuh. (Kira-kira begitulah cara pandang orientalis). Kalau budayanya melarang telanjang, apalagi sampai dilihat banyak orang, ya jangan begitu.

Sebagai warga negara yang paham norma tempatnya hidup, tentunya Elizabeth juga tak ingin tubuh telanjangnya ditonton banyak orang. Tapi faktanya, menurut data YouTube, video 36 detik yang memperlihatkan ketelanjangannya ketika “ngorok” itu ditonton lebih dari 250.000 orang.

Dia jadi korban lawan politiknya yang menggunakan jurus be strong approach yang dikemas dalam black campaign memanfaatkan rekaman mantan pacarnya untuk menghancurkan karir politik Elizabeth. Yah, itulah politik. Apa pun cara yang ditempuh, hukumnya halal.

Jurus musuhnya ampuh. Sebagai warga negara sekaligus publik figur, dia dicap sudah melanggar norma karena tubuh telanjangnya blak-blakan di internet. Otomatis citranya sebagai politikus hangus.

Ketika Wong berdalih, “Saya ingin mengatakan bahwa saya tidak malu dengan seksualitas saya sebagai perempuan dan sebagai orang yang hidup sendiri,” tambah malah rusak parah citranya.

Pernyataan itu langsung dijawab lawan politiknya dengan membangun opini; bagaimana seorang pria yang bukan muhrim bisa masuk ke rumah wanita yang memilih hidup sendiri dan mengambil gambar wanita itu ketika telanjang? Di sinilah, sekali lagi, lawan politik Elizabeth sukses merusak citra moral perempuan berdarah Tionghoa itu.

Kalau menurut kaca mata budaya Malaysia, Elizabeth yang membiarkan tubuh telanjangnya dipandang pria bukan muhrimnya itu haram. Dia dituduh pembohong, karena mengaku bersih dan sopan tapi ternyata “bitch” dengan membiarkan pria yang bukan siapa-siapanya masuk ke rumahnya. Dia juga dinilai sengaja telanjang di depan pria itu. Orang yang dicap pembohong tak akan mendapatkan simpati. Karir politik Elizabeth berakhir tangis.

Naked. Kalau kita mau adil, sebenarnya tidak ada yang salah dengan telanjang. Telanjang itu ada, telanjang itu dimiliki semua orang. Telanjang juga tak dosa, karena Tuhan toh juga menurunkan manusia ke dunia tanpa busana. Ketika manusia mati, dia berangkat menuju Tuhan juga tanpa busana. Manusia itu berawal dari ketelanjangan dan berakhir dengan ketelanjangan.

Cuma cara pandang yang aneh-aneh itu saja, entah itu atas nama norma, hukum, budaya atau politik, yang menjadikan telanjang itu aneh.

Jadi, kalau anda ingin mengekspresikan jiwa anda yang bebas, apalagi anda suka telanjang, syaratnya sederhana; jangan jadi politisi dan jangan hidup di Asia. Tapi juga jangan hidup di kutub. Siapa juga orang yang punya pikiran telanjang bulat di padang es??? (*)


sumberhttp://tofikpram.blogspot.com/2009/03/kate-winslet-dan-elizabeth-wong.html#more

Tidak ada komentar:

Posting Komentar