(Foto: dir.coolclips.com)
Jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun dibandingkan dengan kematian karena sebab lain. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi pada rentang tahun 2000 sampai 2015 sedikitnya 20 ribu jiwa meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, lebih dari 1 miliar orang luka-luka, cacat atau kehilangan tanggungan hidupnya karena menjadi korban kecelakaan di jalan. Dan sebagian besar korban itu berjatuhan di negara berkembang. Ironisnya, meski prediksi statistik ini mengkhawatirkan, kesadaran akan pentingnya upaya mencegah tragedi kematian dan luka-luka akibat kecelakaan lalu lintas masih sangat rendah.
Di negara yang sedang berkembang pesat, khususnya di kawasan Asia dan Afrika, jumlah pemakai jalan bertambah dengan cepat, namun pertumbuhan itu tidak diimbangi dengan pemahaman dasar mengemudi serta sebab dan akibat dari kecelakaan lalu lintas pun tidak dimiliki. Untuk itu dibutuhkan pendidikan dan kesadaran publik untuk memperbaiki tingkat keselamatan mengemudi.
Di Indonesia, lebih dari 97% kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh faktor manusia (human error). Menurut data Asian Development Bank (ADB) jumlah korban kecelakaan di Indonesia pada tahun 2003 sekitar 1 juta korban luka-luka dan sekitar 30 ribu korban meninggal dunia. Jika pemahaman dasar mengemudi dan tentang pentingnya keselamatan di dalam mengemudi tidak diperbaiki, angka tersebut akan membengkak tajam.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia tidak dibarengi dengan pemahaman dasar mengemudi dan pemahaman tentang keselamatan mengemudi. Alhasil, pertengkaran di jalan raya, senggolan antar kendaraan dan riuh klakson menjadi pemandangan yang kerap dijumpai di jalan-jalan di Indonesia. Apalagi dengan adanya pertumbuhan sepeda motor yang pesat. Menurut harian Kompas 24/10/2006), sekitar 40 persen pengguna mobil di Jabodetabek merubah alat transportasinya dari kendaraan roda empat ke roda dua.
Sering kita jumpai ketika sedang mengemudi, tiba-tiba sebuah sepeda motor keluar dari jalan kecil menuju jalan raya tanpa memastikan terlebih dahulu apakah kondisi jalan aman baginya untuk berbelok atau menyebrang berpindah jalur. Alhasil, pengemudi mobil atau sepeda motor harus menekan klakson keras-keras atau mengerem keras maupun banting setir untuk menghindari terjadinya tabrakan. Bahkan sudah menjadi pemandangan yang lumrah di jalan-jalan di Jakarta, ketika sebuah mobil berhenti atau melambankan kecepatan mobil, kendaraan yang berada di belakangnya langsung berpindah jalur ke kanan atau ke kiri untuk mendahului tanpa memberikan lampu sein. Kalau pun memberikan lampu sein jarak antara kendaraan yang membelok dengan kendaraan di belakangnya sangat dekat di mana sebetulnya ruang kendaraan di depan untuk membelok tidak ada. Akibatnya, kendaraan di belakang harus mengerem mendadak atau memberikan klakson keras-keras untuk memperingatkan pengendara di depan. Bersyukur kalau si pengemudi di belakang bisa menghindar, jika tidak, tabrakan bisa tak terelakkan dan mendorong terjadinya tabrakan beruntun.
(Foto: www.freefoto.com)
Gara-gara pemahaman dasar mengemudi rendah dan kesadaran akan pentingnya keselamatan berkendara minim, tabrakan beruntun di jalan tol akhirnya menjadi hal yang biasa. Penulis bahkan pernah membaca berita tentang tabrakan beruntun di Jalan Tol TB. Simatupang terjadi dalam tiga hari berturut-turut dengan insiden yang berbeda dan korban yang berbeda. Sudah menjadi pemandangan lumrah di jalan tol di negeri ini, jika para pengemudi tidak menjaga jarak dengan mobil yang ada depannya. Dalam kecepatan 100km/j, mobil-mobil di jalan tol yang berada di jalur paling kanan (jalur cepat) seperti parade dengan jarak hanya 7m dengan mobil di depannya, mirip sebuah balapan. Mungkin mereka mengira jalan tol memang dibuat untuk balapan? Apakah mereka tidak menyadari berapa jarak pengereman yang dibutuhkan mobil dari kecepatan 100km/j sampai mobil benar-benar berhenti untuk menghindari tabrakan dengan mobil di depannya jika terjadi sesuatu?
Pertumbuhan populasi sepeda motor di Indonesia yang meningkat pesat juga menimbulkan permasalahan baru. Sepeda motor memenuhi jalan dari berbagai penjuru dan ruas. Di kiri, kanan, depan, belakang, di mana-mana, khususnya di Jakarta pada jam sibuk seperti laron di musim hujan. Para pengendara pun harus ekstra hati-hati agar tidak bersentuhan dan bersenggolan. Sayang, meningkatnya populasi motor di Jakarta tidak dibarengi dengan kesadaran berlalu lintas dan keselamatan mengemudi. Setiap lampu merah di Jakarta menjadi seperti ranjau darat yang siap memakan korban, pasalnya perilaku pengendara motor yang tidak bisa diprediksi saat mendominasi barisan depan lampu merah. Mereka sering nyelonong di saat seharusnya berhenti dan memberikan jalan kepada pengendara di ruas lain yang terkena lampu hijau. Pengendara motor pun suka seenaknya membelok dan berpindah jalur, tanpa memperdulikan kendaraan di belakang, depan atau di sampingnya sehingga membahayakan keselamatan dirinya dan orang lain. Walhasil, jalan-jalan di Jakarta setiap hari kerja dapat diibaratkan sebagai neraka yang siap menjerumuskan siapa saja.
(Mohon maaf jika pemasangan foto ini tidak membuat Anda nyaman pada saat membaca tulisan. Pemasangan foto ini dimaksudkan hanya sebagai deskripsi akibat dari sebuah kecelakaan lalu lintas) - Foto diambil dari: http://tissuebasah.files.wordpress.com
Nyawa korban meninggal kecelakaan lalu lintas di Indonesia harganya hanya setara dua ekor kambing! Sebuah kisah nyata mungkin bisa dijadikan contoh. Tahun 1996, seorang korban meninggal ditabrak sebuah bus di daerah Sukabumi, Jawa Barat, hanya mendapatkan asuransi Jasa Raharja sebesar Rp 2,5 juta rupiah saja. Ketika keluarga korban mengurus surat kematian ke kepolisian , anggota keluarga tersebut dimintai uang administrasi membuat surat kematian oleh seorang anggota kepolisian Sukabumi sebesar 30ribu rupiah (orang mati dan terkena musibah kok dimintain duit, itu adalah bagian dari tugas polisi!). Yang lebih gila lagi, seorang anggota kepolisian datang ke rumah keluarga korban bersama keluarga supir bus yang menabrak dan polisi yang mendampingi mendesak keluarga korban agar menerima uang ganti rugi sekitar Rp 6 juta agar tidak menuntut pengemudi bus sehingga pengemudi bus terbebas dari hukuman penjara. Alasannya, pengemudi bus itu memiliki tiga orang anak dan seorang istri yang mesti ia hidupi. Keluarga korban menolak damai dan tetap menuntut supir ke penjara. Supir bus hanya dijatuhi hukuman penjara 7 bulan, tapi keluarga korban mendengar kabar si supir bus hanya menjalani masa hukuman 2 bulan saja!
Mungkin kalau saja rejim otoriter tidak sedang berkuasa, keadaan bisa terbalik. Sungguh ironis! Dan tentunya Anda tidak ingin menjadi korban kecelakaan dan ketidakadilan berikutnya?
Memang semrawutnya lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia, khususnya, Jakarta tidak melulu kesalahan pemakai jalan,tapi juga disebabkan oleh infrastruktur jalan yang berantakan yang tanggung jawabnya ada di tangan pemerintah. Pertumbuhan kendaraan tidak diimbangi dengan pertumbuhan jalan, akibatnya beragam faktor membuat jalan-jalan di Jakarta semrawut dan membahayakan.
(Foto: www.matanews.com)
Tapi sampai kapan kita harus menyalahkan pemerintah/penguasa, padahal kita harus menggunakan jalan di negeri ini setiap hari? Sambil menunggu jalan-jalan yang lebar, aman, menyenangkan dan memadai serta penegakan hukum yang benar-benar berkeadilan dan aparatur yang bersih, pengguna jalan justru harus meningkatkan kesadaran berlalu lintas yang baik dan pemahaman tentang pentingnya keselamatan mengemudi. Semua unsur yang berkepentingan dengan jalan raya harus meningkatkan kesadaran agar kecelakaan tidak menjadi barang lumrah dan ketidakpedulian menjadi budaya.
Dalam beberapa tahun belakangan, sejumlah pabrikan mobil dan sepeda motor telah mengkampanyekan keselamatan berkendara kepada masyarakat luas –konsumen, media, partner kerjadan lain-lain- melalui workshop maupun pelatihan. Kampanye tersebut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial pabrikan kendaraan dalam rangka menekan angka kecelakaan di jalan raya. Lewat kampanye ini, diharapkan perilaku para pengendara di jalan raya menjadi lebih tertib dan memahami keselamatan di jalan.
Berikut ini adalah tips-tips untuk mengurangi kecelakaan di jalan raya:
1 Camkan bahkan mengemudi adalah pekerjaan berat karena melibatkan kerja seluruh anggota tubuh dan membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi.
2 Sebelum menjalankan kendaraan, periksalah terlebih dahulu kondisi kendaraan, seperti ban, lampu sein dan lain-lain.
3 Jika Anda memakai kendaraan roda empat, pakailah sabuk keselamatan (seatbelt/ safety belt). Jika Anda pengendara motor, pakailah helm yang memadai yang melindungi kepala dengan baik jika terjadi benturan.
4 Pengemudi yang defensive yang mampu mengemudikan kendaraannya dengan tenang (tidak tegang) dan mampu mengantisipasi situasi kondisi lalu lintas di depannya.
5 Pastikan posisi mengemudi Anda benar dan nyaman.
6 Jangan menggunakan hanphone, makan atau baca Koran pada saat Anda mengemudi.
7 Kebiasaan pengendara di negeri ini adalah membelokkan kendaraan ke kanan atau ke kiri atau berpindah jalur untuk menyalip kendaraan yang ada di depannya karena kendaraan di depannya itu berhenti atau memberikan lampu sein untuk membelok. Padahal ruang untuk membelok dan menyalip tidak cukup sehingga menganggu keamanan kendaraan di belakangnya.
Sebaiknya Anda berhenti terlebih dulu di belakang mobil yang berhenti sambil melihat-lihat kondisi sudah aman untuk menyalip. Jika mobil di depan Anda menyalakan lampu sein untuk membelok, Anda seharusnya melambatkan laju kendaraan, jangan membelokkan mobil ke arah berlawanan karena kita tidak tahu kondisi mobil yang ada di depan. Kalau ternyata lampu seinnya rusak, di mana seharusnya ia berbelok ke kanan, tapi malah lampu sein kirinya yang menyala, dan Anda malah menyalip ke kanan, Habislah Anda!
8 Senantiasa menjaga jarak aman dengan mobil di depan. Safe driving rule mengatakan bahwa pengemudi harus memelihara jarak aman ketika beriringan dengan kendaraan di depannya yang ditetapkan dengan rumus tiga detik.
Jarak aman antar kendaraan saat beriringan adalah 3 detik. Dengan asumi bahwa manusia dalam bereaksi membutuhkan waktu sekitar 1 detik. Ditambah dengan waktu reaksi mekanis kendaraan (vehicle reaction time) 1 detik saat sistem rem mulai bekerja pada saat pengereman dan ditambah dengan ‘safety factor’ 1 detik. Jadi total waktu reaksi diperkirakan paling tidak sekitar 3 detik.
Di jalan-jalan tol, dalam kecepatan minimal 60km/jam dan maksimal 100km/j, pengemudi dianjurkan untuk menjaga jarak aman sejauh 50 - 100m. Anda bisa menggunakan rumusan tersebut, tapi kebiasaan pengendara mobil di tol di Indonesia adalah di atas 100km/jam, sehingga mungkin perhitungan yang dianjurkan adalah hitungan detik karena jarak pengereman mobil kecepatan 100km/jam dengan 110km/jam tentu saja berbeda. Namun sebagai pengemudi yang baiknya, sebaiknya kecepatan mobil Anda di jalan tol jangan di atas kecepatan maksimal atau minimal yang dianjurkan.
9 Manfaatkan selalu sinyal-sinyal yang dimiliki oleh kendaraan Anda pada tempatnya dan pada saat dibutuhkan.
10 Selalu patuhi rambu-rambu lintas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar